Beranda | Artikel
Menggali Makna Syukur
Jumat, 2 November 2018

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu…

Syukur memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam Islam. Syaikh Utsman bin Ahmad rahimahullah (wafat 1100 H) mendefinisikan syukur sebagai perbuatan menggunakan semua nikmat yang Allah berikan kepada hamba dalam rangka mewujudkan tujuan penciptaan dirinya (lihat dalam kitab beliau Hidayatu ar-Raghib li Syarh ‘Umdati ath-Thalib, Jilid 1 hlm. 16)  

Adapun mengenai tujuan penciptaan kita maka sudah sangat jelas bagi kita firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Beribadah kepada Allah maksudnya adalah dengan mentauhidkan-Nya; menujukan segala bentuk ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan penghambaan dan ibadah kepada selain-Nya apapun bentuknya dan siapapun ia. Dari sini bisa kita tarik kesimpulan awal bahwa hakikat syukur itu adalah menggunakan nikmat Allah untuk bertauhid.

Dengan demikian mentauhidkan Allah merupakan bagian pokok dari syukur itu sendiri. Karena Allah satu-satunya yang menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita maka hanya Allah pula yang berhak mendapatkan persembahan ibadah dari manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas segenap hamba ialah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apa yang dijelaskan oleh Syaikh Utsman di atas senada dengan keterangan Sahl bin Abdullah rahimahullah. Beliau mengatakan, “Syukur adalah bersungguh-sungguh dalam mengerahkan ketaatan dengan disertai tindakan menjauhi maksiat dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan.” (lihat dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an Jilid 2 hlm. 105 karya al-Qurthubi)

Dengan kata lain, amal adalah buah dari syukur kepada Allah. Hal itu sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Beramallah kalian, wahai keluarga Dawud, sebagai bentuk syukur.” (Saba’ : 13). Artinya menggunakan anggota badan -dalam bentuk ucapan dan amalan- untuk menaati Allah Sang pemberi nikmat adalah bentuk syukur kepada-Nya (lihat kitab al-Lubab fi Tafsir Basmalah wal Isti’adzah wa Fatihatil Kitab, hlm. 217 karya Dr. Sulaiman al-Lahim)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah memberikan keterangan serupa. Beliau mengatakan, “Syukur adalah menunaikan ketaatan kepada Sang pemberi nikmat dengan pengakuan dari dalam hati -bahwa nikmat datang dari Allah- disertai pujian dengan lisan, dan ketaatan dengan segenap anggota badan.” (lihat Tafsir Surat Luqman, hlm. 74)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun syukur, ia adalah menunaikan ketaatan kepada-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai hal yang dicintai-Nya baik yang bersifat lahir maupun batin.” (lihat al-Fawa’id, hlm. 193 penerbit ar-Rusyd)

Dengan bahasa yang lebih sederhana, bisa kita katakan bahwa beribadah kepada Allah adalah bukti syukur kepada-Nya. Orang yang mensyukuri nikmat Allah adalah yang beribadah kepada-Nya. Ibadah itu sendiri mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, berupa perkataan dan perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Ibadah kepada Allah ditegakkan di atas puncak kecintaan dan puncak ketundukan. Orang yang bersyukur kepada Allah beribadah kepada-Nya dengan disertai perasaan takut dan harap. Takut akan azab-Nya dan berharap akan rahmat-Nya.

Semoga Allah jadikan kita termasuk hamba-hamba yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Salawat dan salam semoga tercurah kepada rasul-Nya, dan segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.

# Ditulis oleh : al-Faqir ila Rahmati Rabbihi Ari Wahyudi –waffaqahullah


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/menggali-makna-syukur/